Teori yang menghalalkan Riba beserta tanggapan, Part-I
Riba bukan hanya ada pada ajaran
islam, namun ajaran yahudi dan nasrani pun juga mengharamkan Riba. Pada awal
abad pertengahan gereja katolik begitu gencarnya melarang praktik riba usurydalam
komunitas masyarakat eropa. Seiring dengan kemajuan perniagaan di eropa dan sekaligus menguatnya undang undang
romawi yang melegalkan interest yang pada asal katanya ganti rugi keterlambatan
pelunasan hutang dan didukung dengan kondisi melemahnya pengaruh gereja maka
para ekonom eropa sepakat menggunakan kata interst sebagai ganti dari kata
usury yang diharamkan gereja, namun dalam terminologi ekonomi makna dua kata
ini tidaklah berbeda.
Untuk melegalkan riba, para
ekonom tersebut berpacu membuat teori teori pendukungnya. Berikut teori teori
yang beredar pada masyarakat :
Teori agio, yaitu uang yang ada saat ini lebih
bernilai dari pada uang yang ada pada masa mendatang dari dua sisi :
·
Manusia secara naluriah
mengedapankan uang yang ada pada saat ini
·
Uang selalu menglami
inflasi setiap harinya, maka bunga dianggap sebagai penutup inflasiyang terjadi
pada uang kreditur. Oleh karena itu, kreditur berhak menarik bunga berdasarkan rasio
inflasi sebagai ganti rugi dari turunnya nilai uang yang dipinjamkan.
Tanggapan:
·
Sebenarnya, penyebab utama
terjadinya inflasi adalah bunga, karena pihak produsen selalu memasukan bunga
yang harus dibayar kepada kreditur kedalam biaya produksi yang tentunya mempengaruhi
harga jual suatu barang. Setiap kali rasio bunga naik pasti harga jual produksi
ikut naik. Karna dalam beban biaya juga dicantumkan beban bunga. Maka tidak
mungkin masalah inflasi diselesaikan dengan cara perhitungan bunga yang
merupakan sebab utama terjadinya inflasi.
·
Uang pinjaman yang
diberikan oleh kreditur jika tetap berada di tangannya juga pasti terkena
inflasi. Jadi penyebab utama inflasi bukan karna uang itu berada di tangan
debitur. Karena kenyataannya inflasi berakibat pada semua orang.
Sekian dari kami, semoga bermanfaat.
sumber :Harta haram muamalat kontemporer, Dr. Erwandi Tarmizi.
Comments
Post a Comment